Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) yang dilansir Bank Indonesia, dalam sepekan terakhir (20-27 September 2013), rupiah melemah 180 poin (1,58%) ke posisi 11.532 dari level terakhir pekan sebelumnya 11.352. Level terlemah mencapai 11.573 per dolar AS.
Sejak rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami pelemahan, pemerintah terus mengawasi laju nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Mata uang rupiah terseret sentimen negatif mulai dari spekulasi perburuan dolar AS di akhir bulan hingga debt ceiling AS. Beredarnya spekulasi akan banyaknya perusahaan yang membeli dolar AS untuk kebutuhan pembayaran utang yang akan jatuh tempo di akhir bulan, serta adanya pembayaran barang-barang impor menjadi salah satu penekan negatif nilai tukar rupiah.
Adanya sikap kontra dari beberapa petinggi The Fed atas keputusan perpanjangan stimulus dari Bernanke, imbas pelemahan Euro terhadap USD seiring sikap wait & see pelaku pasar mengantisipasi pembahasan fiskal APBN AS dan perkiraan masih akan defisitnya current account Indonesia (dimana defisit current account menyentuh 4,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada triwulan II) menjadi sentimen negatif laju rupiah.
Investor cenderung menahan diri seraya menanti kejelasan lebih lanjut atas potensi terjadinya deadlock pembahasan akan debt ceiling AS di bulan Oktober di mana Partai Republik ingin pemerintah memangkas anggaran lebih lanjut dan kemungkinan mengurangi anggaran health care yang diprogramkan Obama.
Jika AS tidak mencapai kesepakatan, sebenarnya melemahkan dolar AS. Tapi disisi lain juga akan menimbulkan ketidakpastian yang lain sehingga bisa memicu orang untuk keluar dari negara-negara berkembang yang melemahkan rupiah.
Pasar keuangan juga cenderung waspada menjelang serangkaian data ekonomi Indonesia pada 1 Oktober 2013 yang dapat memberikan kejelasan atas kondisi inflasi (dimana inflasi yang secara tahunan menyentuh 8,79% pada akhir agustus setelah penaikan harga BBM bersubsidi), neraca perdagangan, dan sektor manufaktur Indonesia. Pasar ingin melihat kemajuan perubahan kebijakan fiskal atau moneter yang dilakukan oleh pemerintah atau BI terhadap perkembangan ekonomi Indonesia.
Selain harus mewaspadai defisit transaksi berjalan dan inflasi yang masih melaju tinggi, kebijakan otoritas moneter menaikkan BI rate juga perlu diwaspadai. Sebab kebijakan pengetatan moneter yang dimaksudkan untuk mengendalikan inflasi, stabilitas nilai tukar rupiah, dan penyesuaian defisit transaksi berjalan secara berlanjut akan memukul sektor riil. Perbankan akan mengerem laju kreditnya dan sektor riil juga sulit menyerap kredit pinjaman karena adanya kenaikan suku bunga.
Karena itu, BI yang semula menargetkan pertumbuhan kredit perbankan sekitar 23% hingga 24% memprediksi turun menjadi 18% sampai 20%, seiring langkah perbankan meninggikan suku bunga kredit yang mengikuti suku bunga acuan bank sentral. Kenaikan suku bunga acuan ini juga akan berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sebab, sektor riil dan investasi akan terbebani dengan tingginya suku bunga perbankan.
Kebijakan pengetatan moneter yang dimaksudkan untuk mengendalikan inflasi, stabilitas nilai tukar rupiah, dan penyesuaian defisit transaksi berjalan secara berlanjut akan memukul sektor riil. Perbankan akan mengerem laju kreditnya dan sektor riil juga sulit menyerap kredit pinjaman karena adanya kenaikan suku bunga. Karena itu, BI yang semula menargetkan pertumbuhan kredit perbankan sekitar 23% hingga 24% memprediksi turun menjadi 18% sampai 20%, seiring langkah perbankan meninggikan suku bunga kredit yang mengikuti suku bunga acuan bank sentral.
Perekonomin Indonesia juga perlu mewaspadai perlambatan ekonomi di China. China merupakan salah satu pasar ekspor Indonesia. Oleh karena itu, perlambatan ekonomi, khususnya koreksi atas pertumbuhan ekonomi di China dari 7,8% menjadi 7,5% berdampak ke Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS), mencatat nilai ekspor tercatat sebesar USD 15,11 miliar pada Juli lalu atau naik 2,37% dari nilai ekspor pada Juni 2013. Kenaikan nilai ekspor tersebut sangat tidak sebanding dengan kenaikan nilai impor, di mana Juli lalu tercatat sebesar USD17,42 miliar atau melonjak 11,4% dibanding Juni 2013. Untuk tujuan ekspor, China masih menduduki urutan pertama senilai USD11,77 miliar, ditempel Jepang senilai USD9,54 miliar, dan Amerika Serikat senilai USD9,03 miliar.
Bahkan pemerintah harus realistis terhadap ketidakpastian ekonomi global dengan merevisi target kurs rupiah pada 2014 menjadi Rp 10.500 per dolar AS. Seperti diketahui, pemerintah mengajukan asumsi pertumbuhan ekonomi ditetapkan sebesar 6%, inflasi 5,5%, suku bunga SPN 3 bulan 5,5% dan nilai tukar rupiah Rp 10.500 per dolar AS. Sedangkan dalam nota keuangan, pemerintah mengusulkan, pertumbuhan ekonomi sebesar 6,4%, inflasi 4,5%, suku bunga SPN 3 bulan 5,5%, dan nilai tukar Rp 9.750 per dolar AS.
Dikutip dari berbagai sumber